Sengketa Gugusan Pulau Pasir Antara
Indonesia-Australia
Dengan mengacu MoU 1974,
Australia kemudian mengklaim “Gugusan Pulau Pasir yang disebut Ashmore Reef”
itu sebagai bagian dari teritorinya dan menjadikannya sebagai cagar alam secara
sepihak.
Sengketa Gugusan Pulau
Pasir (Ashmore Reef) di perairan Pulau Rote antara Indonesia dengan Australia
menuai kecaman keras dari beberapa pengamat mengenai pentingnya kedaulatan
Indonesia atas lautnya.
Pemerhati masalah Laut
Timor Ferdi Tanoni mengatakan, Australia tidak memiliki hak apa pun atas
Gugusan Pulau Pasir, karena negeri Australia itu tidak mampu membuktikan
satu pun dokumen resmi atas kepemilikan pulau tersebut sesuai ketentuan hukum internasional.
“Fakta hukum justru
menunjukkan bahwa pulau yang kaya mineral yang terletak di selatan Pulau Rote,
Nusa Tenggara Timur itu sesungguhnya adalah milik nelayan tradisional
Indonesia,” kata mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu di Kupang, Jumat
(9/1) lalu.
Pulau Pasir yang hanya
dicapai dalam tempo empat jam dari Pulau Rote dengan perahu motor itu merupakan
tempat peristirahatan para nelayan tradisional Indonesia yang mengalami
keletihan setelah mencari ikan dan biota laut lainnya di sekitar “Ashmore
Reef”.
“Gugusan Pulau Pasir itu
lebih tepat merupakan halaman rumah para nelayan tradisional Indonesia yang
didiami secara turun-temurun sejak 400 tahun silam, jauh sebelum Australia
memproklamirkan kemerdekaannya sebagai sebuah negara berdaulat,” katanya.
Tidak Punya Kekuatan
Hukum
Pria yang juga menjadi
Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu menambahkan Australia memegang MoU
(Memorandum of Understanding) tentang Hak-hak Nelayan Tradisional yang
ditandatangani pada 1974 oleh seorang pejabat tingkat rendah Kementerian Luar
Negeri Indonesia dan seorang pejabat tingkat rendah dari Departemen Pertanian
Australia.
“Ini tidak sah dan tidak
memiliki kekuatan hukum apa pun,ini bukan sebuah perjanjian,
sehingga MoU tersebut haruslah dinyatakan batal demi hukum dan tidak
boleh diberlakukan oleh Canberra dan Jakarta ,” paparnya.
Dia menambahkan, dengan
mengacu MoU 1974, Australia kemudian mengklaim “Gugusan Pulau Pasir yang
disebut Ashmore Reef” itu sebagai bagian dari teritorinya dan menjadikannya
sebagai cagar alam secara sepihak.
Australia, kata dia,
menyadari bahwa MoU tersebut sangat lemah, sehingga pada 1997 membujuk
Indonesia untuk membuat perjanjian lain yang disebut Zona Ekonomi Eksklusif dan
Batas-Batas Dasar Laut Tertentu di wilayah tersebut dan memasukkan gugusan
Pulau Pasir di dalamnya.
Ia menegaskan meskipun
gugusan Pulau Pasir itu sudah menjadi bagian dari kesepakatan tersebut, namun
sejauh ini belum diratifikasi oleh kedua negara, apalagi perjanjian 1997 yang
tidak bisa diratifikasi lagi sebagai konsekuensi dari perubahan kondisi
geopolitik.
Tanoni,yang penulis Buku
“Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Eknomi Canberra-Jakarta itu
menjelaskan ketika perjanjian 1997 dinegosiasikan dan ditandatangani, Timor
Timur masih menjadi bagian dari NKRI, namun pada tahun 1999 telah terjadi
perubahan geopolitik di wilayah tersebut dengan berdirinya Timor Timur sebagai
sebuah negara merdeka dengan nama Timor Leste.
Namun, tambahnya,
Australia justru menggunakan MoU 1974 yang ilegal itu untuk menghentikan dan
membakar ribuan perahu milik nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor hanya
untuk mengambil minyak dan gas bumi milik rakyat Timor bagian barat NTT.
Dasar Sejarah
Pemenang tunggal Civil
Justice Award 2013 dari Australian Lawyers Alliance (ALA) ini juga merasa aneh
dengan sikap Australia yang menolak untuk menggunakan MoU 1996 yang sah dan
resmi tentang Kesiapsiagaan dan Penanggulangan Polusi Minyak di Laut guna
menyelesaikan petaka Tumpahan Minyak Montara 2009 di Laut Timor yang terkesan
ditutupi-tutupi itu.
Tumpahan Minyak Montara (Foto: michaelrisdianto. blogspot)
Petaka Montara ini telah
menghancurkan mata pencaharian lebih dari 100.000 rakyat miskin yang bermukim
di pesisir di kepulauan Nusa Tenggara Timur.
Fakta sejarah, Tanoni
menuturkan sesuai fakta sejarah, Pemerintah Inggris pada tahun 1932 menyerahkan
pengelolaan gugusan Pulau Pasir kepada Pemerintah Federal Australia.
Ia mengatakan tindakan
aneksasi secara sepihak dan tidak sah atas “Ashmore Reef” ini pertama kali
dilakukan oleh Kapten Samuel Ashmore ketika hendak kembali ke negaranya
(Inggris) pada tahun 1811.
Pada tahun 1878
pemerintah Inggris secara sepihak mengklaim sebagai bagian dari wilayah Inggris
kemudian menamakannya “Ashmore Reef”, tanpa sepengetahuan pemerintah Hindia
Belanda yang menguasai itu.
Sementara, aktivitas
nelayan tradisional Indonesia di “Ashmore Reef” yang berhasil direkam oleh
antropolog dunia termasuk Australia telah berlangsung sejak 1609.
Atas dasar itu, Tanoni
menilai Perjanjian ZEE dan Batas Dasar Laut Tertentu Indonesia dan Australia di
wilayah Laut Timor yang ditandatangani Menlu Ali Alatas (Indonesia) dan Menlu
Alexander Downer (Australia) di Perth, Australia pada 1997, harus dinyatakan
“batal demi hukum”.
“Perjanjian itu belum
diratifikasi oleh kedua belah pihak, dan pada Pasal 11 perjanjian yang hanya
berisi 11 pasal itu menyatakan Perjanjian tersebut akan mulai berlaku pada saat
pertukaran piagam-piagam ratifikasi,” ujarnya.
Namun, apa yang terjadi,
Australia secara sepihak telah menggunakan perjanjian ini dan menekan seluruh
aktivitas para nelayan tradisional Indonesia secara tidak manusiawi dan secara
sepihak mengklaim pula gugusan Pulau Pasir sebagai bagian dari cagar alam Australia.
Menurut dia, perjanjian
ZEE tersebut merupakan kelanjutan dari Zona Perikanan Australia yang juga
diklaim secara sepihak (ilegal) hingga mendekati Pulau Rote di bagian selatan
Indonesia yang kemudian diubah menjadi ZEE Australia.
Ia mengatakan sebagai
akibat dari tidak validnya perjanjian 1997 tersebut telah mengakibatkan
masyarakat Indonesia di Timor Barat, NTT dimiskinkan secara paksa oleh
Canberra, antara lain dalam bentuk membakar ribuan perahu nelayan tradisional
Indonesia secara tidak manusiawi serta mencaplok puluhan ladang gas dan minyak
yang merupakan milik rakyat Timor Barat NTT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar