#Attribution1 { height:0px; visibility:hidden; display:none }

Sabtu, 12 November 2016

Sengketa Pulau Pasir


Sengketa Gugusan Pulau Pasir Antara Indonesia-Australia






Dengan mengacu MoU 1974, Australia kemudian mengklaim “Gugusan Pulau Pasir yang disebut Ashmore Reef” itu sebagai bagian dari teritorinya dan menjadikannya sebagai cagar alam secara sepihak.


Sengketa Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) di perairan Pulau Rote antara Indonesia dengan Australia menuai kecaman keras dari beberapa pengamat mengenai pentingnya kedaulatan Indonesia atas lautnya.
Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mengatakan, Australia tidak memiliki hak apa pun atas Gugusan Pulau Pasir, karena negeri Australia  itu tidak mampu membuktikan satu pun dokumen resmi atas kepemilikan pulau tersebut sesuai ketentuan hukum internasional.
“Fakta hukum justru menunjukkan bahwa pulau yang kaya mineral yang terletak di selatan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur itu sesungguhnya adalah milik nelayan tradisional Indonesia,” kata mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu di Kupang, Jumat (9/1) lalu.
Pulau Pasir yang hanya dicapai dalam tempo empat jam dari Pulau Rote dengan perahu motor itu merupakan tempat peristirahatan para nelayan tradisional Indonesia yang mengalami keletihan setelah mencari ikan dan biota laut lainnya di sekitar “Ashmore Reef”.
“Gugusan Pulau Pasir itu lebih tepat merupakan halaman rumah para nelayan tradisional Indonesia yang didiami secara turun-temurun sejak 400 tahun silam, jauh sebelum Australia memproklamirkan kemerdekaannya sebagai sebuah negara berdaulat,” katanya.





Tidak Punya Kekuatan Hukum
Pria yang juga menjadi Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu menambahkan Australia memegang MoU (Memorandum of Understanding) tentang Hak-hak Nelayan Tradisional yang ditandatangani pada 1974 oleh seorang pejabat tingkat rendah Kementerian Luar Negeri Indonesia dan seorang pejabat tingkat rendah dari Departemen Pertanian Australia.
“Ini tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum apa pun,ini  bukan sebuah perjanjian, sehingga  MoU tersebut haruslah dinyatakan batal demi hukum dan tidak boleh diberlakukan oleh Canberra dan Jakarta ,” paparnya.
Dia menambahkan, dengan mengacu MoU 1974, Australia kemudian mengklaim “Gugusan Pulau Pasir yang disebut Ashmore Reef” itu sebagai bagian dari teritorinya dan menjadikannya sebagai cagar alam secara sepihak.
Australia, kata dia, menyadari bahwa MoU tersebut sangat lemah, sehingga pada 1997 membujuk Indonesia untuk membuat perjanjian lain yang disebut Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu di wilayah tersebut dan memasukkan gugusan Pulau Pasir di dalamnya.
Ia menegaskan meskipun gugusan Pulau Pasir itu sudah menjadi bagian dari kesepakatan tersebut, namun sejauh ini belum diratifikasi oleh kedua negara, apalagi perjanjian 1997 yang tidak bisa diratifikasi lagi sebagai konsekuensi dari perubahan kondisi geopolitik.
Tanoni,yang penulis Buku “Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Eknomi Canberra-Jakarta itu menjelaskan ketika perjanjian 1997 dinegosiasikan dan ditandatangani, Timor Timur masih menjadi bagian dari NKRI, namun pada tahun 1999 telah terjadi perubahan geopolitik di wilayah tersebut dengan berdirinya Timor Timur sebagai sebuah negara merdeka dengan nama Timor Leste.
Namun, tambahnya, Australia justru menggunakan MoU 1974 yang ilegal itu untuk menghentikan dan membakar ribuan perahu milik nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor hanya untuk mengambil minyak dan gas bumi milik rakyat Timor bagian barat NTT.

 

Dasar Sejarah
Pemenang tunggal Civil Justice Award 2013 dari Australian Lawyers Alliance (ALA) ini juga merasa aneh dengan sikap Australia yang menolak untuk menggunakan MoU 1996 yang sah dan resmi tentang Kesiapsiagaan dan Penanggulangan Polusi Minyak di Laut guna menyelesaikan petaka Tumpahan Minyak Montara 2009 di Laut Timor yang terkesan ditutupi-tutupi itu.


Tumpahan Minyak Montara (Foto: michaelrisdianto. blogspot)

Petaka Montara ini telah menghancurkan mata pencaharian lebih dari 100.000 rakyat miskin yang bermukim di pesisir di kepulauan Nusa Tenggara Timur.
Fakta sejarah, Tanoni menuturkan sesuai fakta sejarah, Pemerintah Inggris pada tahun 1932 menyerahkan pengelolaan gugusan Pulau Pasir kepada Pemerintah Federal Australia.
Ia mengatakan tindakan aneksasi secara sepihak dan tidak sah atas “Ashmore Reef” ini pertama kali dilakukan oleh Kapten Samuel Ashmore ketika hendak kembali ke negaranya (Inggris) pada tahun 1811.
Pada tahun 1878 pemerintah Inggris secara sepihak mengklaim sebagai bagian dari wilayah Inggris kemudian menamakannya “Ashmore Reef”, tanpa sepengetahuan pemerintah Hindia Belanda yang menguasai itu.
Sementara, aktivitas nelayan tradisional Indonesia di “Ashmore Reef” yang berhasil direkam oleh antropolog dunia termasuk Australia telah berlangsung sejak 1609.
Atas dasar itu, Tanoni menilai Perjanjian ZEE dan Batas Dasar Laut Tertentu Indonesia dan Australia di wilayah Laut Timor yang ditandatangani Menlu Ali Alatas (Indonesia) dan Menlu Alexander Downer (Australia) di Perth, Australia pada 1997, harus dinyatakan “batal demi hukum”.
“Perjanjian itu belum diratifikasi oleh kedua belah pihak, dan pada Pasal 11 perjanjian yang hanya berisi 11 pasal itu menyatakan Perjanjian tersebut akan mulai berlaku pada saat pertukaran piagam-piagam ratifikasi,” ujarnya.
Namun, apa yang terjadi, Australia secara sepihak telah menggunakan perjanjian ini dan menekan seluruh aktivitas para nelayan tradisional Indonesia secara tidak manusiawi dan secara sepihak mengklaim pula gugusan Pulau Pasir sebagai bagian dari cagar alam Australia.
Menurut dia, perjanjian ZEE tersebut merupakan kelanjutan dari Zona Perikanan Australia yang juga diklaim secara sepihak (ilegal) hingga mendekati Pulau Rote di bagian selatan Indonesia yang kemudian diubah menjadi ZEE Australia.
Ia mengatakan sebagai akibat dari tidak validnya perjanjian 1997 tersebut telah mengakibatkan masyarakat Indonesia di Timor Barat, NTT dimiskinkan secara paksa oleh Canberra, antara lain dalam bentuk membakar ribuan perahu nelayan tradisional Indonesia secara tidak manusiawi serta mencaplok puluhan ladang gas dan minyak yang merupakan milik rakyat Timor Barat NTT.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar