TUGAS
ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
Kelompok 5
Anggota:
1. Ahmad Luthfi Mubarok (10315348)
2. Annisa Fauziyah (10315869)
3. Ashar Muallidiniyah (11315087)
4. Bayu Aji Pangestu (11315275)
5. Bobby Febe Utama (11315386)
6. Ludhan Wijaya (13315872)
7. Novia Nurfatika Sari (15315127)
8. Willy Putra Dellly (17315158)
FAKULTAS TEKNIK SIPIL
DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN 2018/2019
ASPEK
PERSEROAN, PERBANKAN, PERASURANSIAN DAN PERPAJAKAN DALAM PENYELENGGARAAN JASA
KONSTRUKSI
Definisi dan struktur dari aspek perseroran, Perbankan, Perasuransian dan Perpajakan dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi
Sektor
jasa konstruksi adalah salah satu sektor strategis dalam mendukung tercapainya
pembangunan nasional. Posisi strategis tersebut dapat dilihat dari adanya
keterkaitan dengan sektor lain. Jasa konstruksi sesungguhnya merupakan bagian
penting dari terbentuknya produk konstruksi, karena jasa konstruksi menjadi
arena pertemuan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa. Pada wilayah
penyedia jasa juga bertemu sejumlah faktor penting yang mempengaruhi
perkembangan sektor konstruksi seperti pelaku usaha, pekerjanya dan rantai
pasok yang menentukan keberhasilan dari proses penyediaan layanan jasa
konstruksi, yang menggerakkan pertumbuhan sosial ekonomi.
Oleh
karena itu, pengembangan jasa konstruksi menjadi agenda publik yang penting dan
strategis bila melihat perkembangan yang terjadi secara cepat dalam konteks
globalisasi dan liberalisasi, kemiskinan dan kesenjangan, demokratisasi dan
otonomi daerah, serta kerusakan dan bencana alam. Selain itu, perkembangan jasa
konstruksi juga tidak bisa dilepaskan dari konteks proses transformasi politik,
budaya, ekonomi, dan birokrasi yang sedang terjadi. Saat ini pengembangan jasa
konstruksi dihadapkan pada masalah domestik berupa dinamika penguatan
masyarakat sipil sebagai bagian dari proses transisi demokrasi di tingkat
daerah dan nasional serta berkembangnya beragam model transaksi dan hubungan
antara penyedia dengan pengguna jasa konstruksi dalam lingkup pemerintah dan
swasta.
Sejumlah
tantangan tersebut membutuhkan upaya penataan dan penguatan kembali pengaturan
kelembagaan dan pengelolaan sektor jasa konstruksi, untuk menjamin sektor
konstruksi Indonesia dapat tumbuh, berkembang, memiliki nilai tambah yang
meningkat secara berkelanjutan, profesionalisme dan daya saing. Salah satu
upaya tersebut ditempuh dengan mengevaluasi pelaksanaan dan perbaikan terhadap
Undang- 2 Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (untuk selanjutnya
disebut “Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi”) yang telah berlaku selama 15
(lima belas) tahun. Evaluasi dan perbaikan tersebut ditujukan untuk menjawab
sejumlah persoalan saat ini dan ke depan. Pada prinsipnya, UU tentang Jasa
Konstruksi mengatur jenis, bentuk, dan bidang usaha jasa konstruksi, pengikatan
kontrak, tanggungjawab penyedia dan pengguna jasa, penataan partisipasi
masyarakat jasa konstruksi, kegagalan bangunan, peran masyarakat jasa
konstruksi, pembinaan, penyelesaian sengketa dan ketentuan pidana.
ASPEK-ASPEK
YANG TERKANDUNG DAlAM KONTRAK KONTRUKSI
Kontrak
konstruksi atau dokumen mengandung aspek-aspek seperti aspek teknis, hukum,
administrasi, keuangan/perbankan, perpajakan, dan sosial ekonomi. Seluruh aspek
harus dicermati karena semuanya saliang mempengaruhi dan ikut menentukan baik
buruknya suatu pelaksanaan kontrak, atau dengan kata lain sukses tidaknya
sesuatu proyek sangat tergantung dari penanganan aspek-aspek ini.
1. Aspek
Teknis
Tidak
diragukan lagi bahwa aspek teknis merupakan paling dominan dalam suatu kontrak
konstruksi. Aspek inilah yang menjadi pusat perhatian para para pelaku industri
jasa kontruksi, seolah olah apabila aspek ini berhasil dilaksanakan proyek
tersebut diangap berhasil dan sukses.
Padahal,
aspek-aspek lain seharusnya juga diperhatikan dan dikelola dengan baik agar
seluruh isi kontrak dapat dijalankan dan dipatuhi sebagaimana mestinya. Padahal
umumnya aspek aspek teknis yang tercangkup dalam beberapa dokumen kontrak
adalah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat
umum kontrak (General Condition of Contract)
b. Lampiran-lampiran (Appendix)
c.
Syarat-syarat Khusus Kontrak (Special Condition of contract/
Conditions of Contract – Particular)
d. Spesifikasi Teknis (Technical Spesification)
e. Gambar-gambar Kontrak (Contract Drawing)
2. Aspek
Hukum
Sesungguhnya seluruh dokumen kontrak terutama
kontrak/perjanjian itu sendiri adalah hukum. Pasal 1338 KUHP menyatakan bahwa
seluruh perjanjian yang dibuat secara sah merupakan undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Beberapa contoh mengenai pasal-pasal dalam kontrak kontruksi
yang sarat dengan aspek hukum:
a. Penghentian sementara
b. Pengakhiran
perjanjian/pemutusan kontrak
c. Penyelesaian
peselisihan
d. Keadaan memaksa
e. Hukum yang berlaku
f. Bahasa kontrak
g. Domisili
3. Aspek
Keuangan/ Perbankan
Aspek-aspek
Keuangan/ perbankan yang penting dalam kontrak kontruksi antara lain:
a. Nilai kontrak (Contract Amount) / Harga Borongan
b. Cara Pembayaran (Method of Payment)
c. Jaminan (Guarantee / Bonds)
Nilai kontrak dan cara pembayaran kiranya cukup/jelas, bahwa
kedua hak ini penting dicantumkan dalam kontak dan merupakan aaspek paling
penting untuk dicamtumkan karena pembayaran dan cara pembayaran, dipandang dari
sisi penyediaan jasa, merupakan tujuan akhir dari suatu kontrak kerja.
Pembayaran dan cara pembayarannya dangat erat berkaitan
dengan jaminan yang harus disediakan, baik oleh penyedia jasa maupun pengusaha
jasa untuk menjamin/mengamankan pembayaran-pembayaran tersebut.
Jaminan-jaminan
yang biasanya harus disediakan oleh penyedia jasa adalah:
Ø Jaminan uang muka
Ø Jaminan pelaksana
Ø Jaminan perawatan atas cacat
Sedangkan
jaminan yang dapat diberikan oleh pihak pengguna jasa adalah
Ø Jaminan
pembayaran
4. Aspek
Perpajakan
Dalam suatu kontrak kontrusi terkandung aspek perpajakan,
terutama yang berkaitan dengan nilai kontrak sebagai pendapatan penyedia jasa.
Jasa. Jenis pajak yang terkai dengan jasa kontruksi adalah:
a. Pajak Pertambahan nilai (PPN)
b. Pajak Penghasilan (PPh)
Dasar hukum yang mengenai Pajak Pertambahan nilai (PPN) atas
jasa kontruksi diatur pada pasal 4 (c) UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
diubah dengan UU No.18 Tahun 2000. Dasar Hukum pengenaan Pajak Penghasilan
(PPh) atas penghasilan jasa kontruksi siatur pada pasal 4 ayat 1 dan 2 UU No.7
Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No.17
Tahun 2000.
5. Aspek
peransuransian
Aspek peransuransian yang biasanya terdapat dalam kontrak
konstruksi adalah asuransi yang mencakup seluruh proyek termasuk jaminan kepada
pihak ketiga dengan masa pertanggungan selama proyek berlangsung. Jenis
asuransi umumnya dikenal denganistilah contractor’s all dan third party liability
assurance (CAR dan TPL). Biasanya penerima manfaat (beneficiary) dari asuransi
ini adalah pengguna jasa tetapi yang membayar premi adalah penyedia jasa.
Besarnya nilai premi ini dapat saja tercantum secara khusus dalam daftar bill
of quantity (B0Q). Asuransi jenis lainnya biasanya terdapat dalam kontrak
adalah asuransi tenaga kerja dan asuransi kesehatan.
6. Aspek
Sosial Ekonomi
Aspek sosial ekonomi tidak jarang terdapat atau
dipersyaratkan didalam kontrak konstruksi sebagai syarat-syarat kontrak.
Diantara aspek sosial ekonomi adalah keharusan menggunakan tenaga kerja
tertentu, menggunakan bahan-bahan bangunan/material serta peralatan yang
diperoleh didalam negeri dan dampak lingkungan.
7. Aspek
Administrasi
Aspek administrasi didalam kontrak konstruksi antara lain
keterangan mengenai para pihak, laporan keuangan, surat menyurat dan hubungan
kerja antara pihak.
ASPEK AGRARIA DALAM
PEMBANGUNAN
Definisi, Konsep,
dan Struktur Agraria dalam Pembangunan
Agraria merupakan hal-hal yang terkait dengan pembagian,
peruntukan, dan pemilikan lahan.
Agraria sering pula disamakan dengan pertanahan. Dalam banyak hal,
agraria berhubungan erat dengan pertanian (dalam
pengertian luas, agrikultur), karena pada awalnya, keagrariaan muncul karena
terkait dengan pengolahan lahan.
Pengertian Hukum Agraria
Hukum
Agraria pasti berbicara tentang hukum soal tanah, demikian kebanyakan kita
berpikir mengenai agraria yang sering diperbincangkan. Karena istilah agraria
memang identik dengan persoalan tanah. Demikian pula dengan hukum agraria.
Ketika mendengarnya kita langsung menyamakan dengan pengaturan atas tanah
berdasarkan peraturan yang ada. Dan hal ini tidak sepenuhnya salah ketika
mengidentikkan hukum tentang tanah dengan hukum agraria.
Hukum
Agraria dalam ilmu hukum sebenarnya memiliki pengertian yang lebih luas. Dalam
bahasa latin, agraria yang sering di sebut dengan “ager” mempunyai arti tanah
atau sebidang tanah. Dalam bahasa latin pula kata “agrarius” berarti persawahan
atau perladangan atau bisa juga pertanian. Jika kita buka dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa “Agraria” berarti urusan pertanahan dan atau
tanah pertanahan serta urusan pemilikan atas tanah. Sedang dalam bahasa inggris
istilah agraria atau sering disebut dengan “agrarian” yang berarti tanah dan
sering dihubungkan dengan berbagai usaha pertanian.
Definisi
tentang agraria yang demikian, sangat berlainan dengan pengertian agraria yang
termaktub dalam Undang-Undang Pokok Agraria (Hukum Agraria) yang memberikan
pengertian agraria dalam arti yang lebih luas, ialah bahwa agraria meliputi
bumi, air, dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
Hukum
agraria yang berarti sangat luas tersebut berdasarkan berbagai rumusan dapat
kita temukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, baik di dalam konsiderans,
pasal dan penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria atau sering kita sebut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA No.5/Tahun 1960). Beberapa pengertian
yang dikemukakan oleh para ahli dalam menerangkan tentang hukum agraria
diantaranya adalah: Gouwgiokssiong dalam Buku Agrarian Law 1972, mendefinisikan
bahwa hukum agraria merupakan hukum yang identik dengan tanah, hukum agraria
dalam arti yang sempit. Dalam buku Pengantar dalam Hukum Indonesia 16, E.
Utrecht memberikan pengertian yang sama terhadap hukum agraria dan hukum tanah.
Dia berpendapat bahwa hukum agraria (hukum tanah) menjadi bukum tata usaha
negara. W.L.G Lemaire dalam buku Het Recht in Indonesia 1952 membicarakan hukum
agraria adalah suatu kelompok hukum bulat yang meliputi bagian hukum privat
maupun bagian hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
Sedang
Bachsan Mustafa, SH., memberikan pengertian bahwa hukum agraria adalah sebagai
himpunan peraturan yang mengatur bagaimana para pejabat pemerintah menjalankan
tugas di bidang keagrariaan, d an Boedi
Harsono, memberikan pengertian terhadap hukum agraria bahwa hukum agraria bukan
hanya satu perangkat bidang hukum semata. Hukum agraria merupakan satu kelompok
berbagai bidang hukum yang mengatur penguasaan atas berbagai sumber daya alam
tertentu yang termasuk di dalam pengertian agraria.
Dari
berbagai pengertian tentang hukum agraria di atas, kita dapat mengetahui bahwa
sebenarnya hukum agraria mempunyai pengertian baik dalam pengertian hukum
agraria secara luas maupun pengertian hukum agraria secara sempit.
ASPEK AGRARIA
Aspek
agraria/ penguasaan tanah adalah terdiri dari hak, kewajiban dan batasan (RRR).
Digambarkan dalam diagram berikut.
Menurut sifat, penguasaan tanah dibedakan menjadi
tetap dan sementara. Penguasaan tanah tetap contohnya tanah yang dkuasai dari
proses jual beli. Penguasaan tanah sementara contohnya tanah garapan yang
dikuasai dalam batas waktu atau tanah sewa.
Tidak setiap kepemilikan tanah mencerminkan penguasaan
tanah. Ada tanah yang dimiliki oleh A, namun dikuasai oleh B (karena B sebagai
penggarap). Pola hubungan kepemilikan dan penguasaan tidak selalu harus serial
namun bisa paralel. Seseorang bisa menguasai banyak bidang tanah milik orang
lain atau sebaliknya. Menurut statusnya, pemilikan tanah dibedakan menjadi :
pemilikan tanah berdasar hukum formal dan pemilikan tanah berdasar hukum adat
(Wiradi, 2009). Pemilikan tanah menurut hukum formal sebagai contoh : Hak
Milik, hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan lain sebagainya. Di Indonesia diatur
dalam hukum tanah nasional yang mengacu kepada Undang-undang No.5 tahun 1960
atau lebih dikenal sebagai UUPA (Undang-undang Pokok Agraria).
Pemilikan tanah berdasar hukum adat meskipun tidak
diakui sebagai hukum positif namun secara realita diakui keberadaannya oleh
masyarakat dan seringkali dijadikan dasar (alas hak) pemberian hak kepemilikan
menurut hukum positif. Contoh pemilikan menurut hukum adat : tanah yasan
(merupakan tanah hasil membuka lahan yang dikategorikan setara dengan hak
milik), tanah gogolan (merupakan pembagian tanah pertanian milik desa, penerima
hak tidak boleh menjual), tanah titisoro atau tanah bondodeso (tanah milik desa
yang pemanfaatannya digilir berdasar jabatan desa), dan lain sebagainya.
Tatanan hukum dan norma sosial yang mendasari status
pemilikan tanah, baik menurut hukum positif maupun menurut masyarkat hukum
adat, membentuk pola hubungan tanah-individu-masyarakat-negara yang disebut
Sistem Penguasaan Tanah.
TANAH SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Tiga pilar pokok dari terminologi “pembanguan
berkelanjutan” adalah: ekonomi,
lingkungan dan sosial
(Williamson, 2009). Dalam perkembangannya kemudian menjadi empat pilar,
ditambah unsur pemerintahan yang diselenggarakan dengan baik (good governance). Pada gilirannya sistem
administrasi pertanahan (land
administration system = LAS), sebagai bagian subsitem pemerintahan yang
baik, dalam berbagai perannya yang strategis seharusnya dapat berkontribusi
dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Bentuk kontribusi bisa dalam konteks aturan, teknologi
dan berbagai eksplorasi strategis. Peraturan pertanahan yang disusun semestinya
menjalin hubungan yang harmonis antara kepentingan umum dan kepentingan bisnis.
Selain itu peraturan pertanahan harus menciptakan jaminan kepastian hukum.
Sehingga tanah memiliki kepastian nilai ekonomis sehingga bisa diberdayakan
lebih luas meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Aspek teknis dari kontribusi LAS dapat menghasilkan
perangkat dalam penyelesaian sengketa pertanahan dan dalam konteks perencanaan
ruang dapat mengeksekusi model-model perencanaan tata ruang dan wilayah yang
ideal. Ekplorasi teknis lebih lanjut diharapkan mewujudkan peta tunggal sebagai
wadah / kerangka sehingga terjadi efisiensi anggaran dan efektifitas pekerjaan.
Untuk mengembangkan dan mengelola aset-aset sumberdaya
dalam pengelolaan pertanahan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan maka
disusunlah kaidah-kaidah pokok administrasi pertanahan (Williamson, 2009).
Kaidah-kaidah tersebut yakni :
1. Sistem
Administrasi Pertanahan (Land Administration System / LAS). LAS
menyediakan infrastruktur untuk implementasi politik pertanahan dan pengelolaan
pertanahan mendukung pembangunan berkelanjutan.
2. Paradigma
pengelolaan pertanahan,
menyediakan konsepsi kerangka kerja untuk memahami dan inovasi administrasi
pertanahan.
3. Masyarakat
dan institusi, bertujuan memwujudkan pemerintahan
yang baik, pembangunan kapasitas, pengembangan institusional. LAS seharusnya
me-reka-ulang prosedur-prosedur layanan sehingga didapatkan bentuk pelayanan
yang lebih memenuhi kebutuhan pengguna : warga negara, pemerintah dan pebisnis.
4. Hak,
Kewajiban dan Batasan, hak
biasanya berkaitan dengan kepemilikan sedangkan batasan berkaitan dengan
pengontrolan penggunaan dan aktivitas pemakaian tanah, sedangkan kewajiban
lebih kepada aspek etik dan komitmen sosial.
5. Kadaster, merupakan tulang punggung LAS yang berkaitan dengan
penyatuan data spasial dan identifikasi tunggal dari setiap bidang tanah.
6. LAS yang
dinamis, memiliki 4 dimensi, yakni : 1.
menampung refleksi perubahan yang evolusioner terkait hubungan tanah dan masyarakat,
2. pemanfaatan ICT (information and
communication technologies) dan globalisasi beserta akibatnya terhadap
desain dan operasi dari LAS, 3. sifat alamiah informasi dari LAS yang
senantiasa mengalami perubahan yang cukup cepat, 4. perubahan penggunaan dan
informasi bidang tanah.
7. Proses, termasuk di dalam LAS adalah kumpulan proses yang
menangani perubahan informasi tanah. Proses tersebut antara lain menangani :
transfer, perubahan, pembuatan dan penyebaran kepentingan-kepentingan,
penilaian dan pengembangan tanah.
8. Teknologi, merupakan peluang yang berpotensi mengembangkan
eifisiensi LAS.
9. Infrastruktur
Data Spasial, membuka dimensi baru dalam kerja
efektif dan efisien dalam sebuah bidang kerja spasial yang lebih ramah untuk
bagi-pakai sehingga bagi pakai informasi menjadi lebih mudah yang berdampak
mengurangi pemborosan sumberdaya untuk pengolahan data yang sama.
10. Ukuran
sukses, tidak ditentukan oleh rumit dan
kompleksnya kerangka kerja legal atau kecanggihan teknologi. Suksesnya LAS
diukur dari kemampuannya mengelola dan mengadministrasi tanah secara efisien,
efektif dan murah.
ASPEK PENATAAN RUANG DAN
PERIJINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN
Konsep Dasar
Penataan Ruang, Aspek Hukum Penataan Ruang, Dan Wewenang Pengelola Dalam
Perencanaan Kota
Rencana
tata ruang merupakan rencana pemanfaatan ruang yang disusun untuk menjaga
keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan program-program
pembangunan dalam jangka panjang (Nurmandi, 1999). Oleh karena itu, rencana
tata ruang dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam penyusunan rencana
program pembangunan yang merupakan rencana jangka menengah dan jangka pendek. Kegiatan penataan ruang berkaitan juga dengan perencanaan
pembangunan sehingga dokumen yang dihasilkan dari kegiatan penataan ruang dan
perencanaan pembangunan sama-sama ditujukan untuk memprediksi kegiatan yang
akan dilakukan di masa mendatang. Selain itu, rencana tata ruang sebagai hasil
dari kegiatan perencanaan tata ruang merupakan bagian dari proses perencanaan
pembangunan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Seperti telah disebutkan
sebelumnya bahwa pemanfaatan ruang merupakan serangkaian program pelaksanaan
beserta pembiayaannya selama jangka waktu perencanaan. Kegiatan pemanfaatan
ruang antara lain berupa penyuluhan dan pemasyarakatan rencana, penyusunan
program, penyusunan peraturan pelaksanaan dan perangkat insentif dan
disinsentif, penyusunan dan pengusulan proyek dan pelaksanaan program dan
proyek (Oetomo, 1998). Rencana tata ruang harus dapat dioperasionalisasikan
sehingga dapat menjadi strategi dan kebijaksanaan daerah untuk mencapai tujuan
dan sasaran pembangunan yang telah ditetapkan. Disamping itu, rencana tata
ruang harus berfungsi sebagai instrumen koordinasi bagi program/proyek yang
akan dilaksanakan di daerah yang berasal dari berbagai sumber dana, sebagai
wujud dari pemanfaatan rencana tata ruang di daerah.
Kedudukan rencana tata ruang wilayah dalam mekanisme
perencanaan pembangunan daerah di Indonesia dapat dilihat pada Gambar Kedudukan
Rencana Tata Ruang Wilayah Dalam Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah
Berikut:
Kedudukan Rencana Tata Ruang Wilayah Dalam Mekanisme
Perencanaan Pembangunan Daerah Berikut
Perencanaan tata ruang dapat mempengaruhi proses
pembangunan melalui 3 alat utama yaitu (Cadman dan Crowe, 1991):
1.
Rencana
pembangunan, yang menyediakan pengendalian keputusan melalui keputusan stategis
dimana pemerintah mengadopsi rencana tata ruang untuk mengatur guna lahan dan
perubahan lingkungan.
2.
Kontrol
pembangunan, yang menyediakan mekanisme administratif bagi perencana untuk
mewujudkan rencana pembangunan setelah mengadopsi rencana tata ruang. Kontrol
pembangunan ini berlaku pula bagi pemilik lahan, pengembang (developers) dan
investor.
3.
Promosi
pembangunan, merupakan cara yang paling mudah mengetahui interaksi antara
perencanaan tata ruang dengan proses pembangunan. Dalam konteks pemerintahan,
maka dengan adanya rencana tata ruang, pemerintah menginginkan adanya
pembangunan dan investasi di daerahnya dengan cara mempromosikan dan memasarkan
lokasi, membuat lahan yang siap bangun dan menyediakan bantuan dana serta
subsidi.
Pertumbuhan ekonomi menyebabkan kebutuhan untuk
mengembangkan lahan secara intensif. Selain itu, kegiatan implementasi rencana
tata ruang melalui promosi pembangunan perlu dilakukan dalam rangka mencegah
pembangunan yang tidak diinginkan dan mendorong terjadinya pembangunan (Cadman
dan Crowe, 1991). Hal ini diikuti dengan ketertarikan para developer (termasuk
pemerintah), untuk ikut serta berpartisipasi dalam pembangunan, penyiapan
proposal rencana, kemungkinan perubahan pada lahan milik, penyediaan dana,
persiapan fisik dan konstruksi kerja.
Dalam membahas rencana
spasial dan rencana pembangunan daerah secara sekaligus, maka akan tidak
terlepas juga dari aspek keuangan. Saat ini, tantangan yang harus dihadapi
adalah bagaimana memanfaatkan rencana tata ruang sebagai media manajemen
pembangunan daerah. Dalam hal ini, rencana tata ruang dihadapkan tidak hanya
pada masalah bagaimana mengimplementasikannya dalam konteks pembangunan, tetapi
juga rencana tersebut dapat digunakan sebagai suatu alat yang dapat
memperkirakan besarnya investasi yang diperlukan dan berapa pendapatan
(revenue) yang dapat dihasilkan. Oleh karena itu, pembangunan akan memerlukan
peran berbagai aktor tersebut agar ruang dapat dimanfaatkan secara optimal
sesuai dengan rencana tata ruang dalam rangka peningkatan pendapatan daerah dan
tercapainya tujuan pembangunan.
Suatu rencana tata ruang
akan dimanfaatkan untuk diwujudkan apabila dalam perencanaannya sesuai dan
tidak bertentangan dengan kehendak seluruh pemanfaatnya, serta karakteristik
dan kondisi wilayah perencanaannya, sehingga dapat digunakan sebagai acuan
dalam pemanfaatan ruang bagi para pemanfaatnya. Dilengkapi dengan kesadaran
pertimbangan pembiayaan dan waktu, maka dengan kata lain suatu rencana tata
ruang harus disusun dalam suatu wawasan yang lengkap dan terpadu serta
operasional, yang tentu saja tingkat operasionalnya disesuaikan dengan tingkat
hirarki dan fungsi dari rencana tata ruang tersebut.
Rencana tata ruang dapat menjadi dasar dalam:
·
Penyusunan
Propeda
·
Penentuan
lokasi pembangunan tiap sektor
·
Penyusunan
anggaran daerah dan sektor
·
Pengaturan
dan pengendalian pembangunan melalui mekanisme perijinan dan penertiban
penggunaan lahan.
Berdasarkan
hal tersebut, jelaslah bahwa rencana tata ruang tidak hanya digunakan dalam
mekanisme penerbitan ijin saja, tetapi juga sebagai dasar dalam penyusunan
dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah dan jangka pendek serta
penyusunan anggaran daerah. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa setiap
kegiatan, baik fisik maupun non-fisik, pasti akan memerlukan ruang agar
kegiatan tersebut berlangsung. Selain itu, seperti dikemukakan oleh Foley
(1967) bahwa tata ruang tidak hanya merupakan konsepsi keruangan (spasial),
tetapi juga terdapat wawasan bukan keruangan (a-spasial) karena kegiatan yang
menyangkut spasial tidak terlepas dari kondisi a-spasial yang terjadi.
Usman
dalam Munir (2002) memandang perlu bahwa dimensi spasial dalam pembangunan daerah
dapat menjadikan pembangunan daerah mempunyai watak atau ciri tersendiri, serta
memiliki pola dan spirit sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya.
Dalam upaya peningkatan ruang yang berdaya guna dan berhasil guna, khususnya
dalam pelaksanaan otonomi daerah serta mendorong pembangunan berkelanjutan, ada
beberapa tindakan yang perlu dilakukan, antara lain:
1.
Penyusunan
rencana tata ruang harus bersifat partisipatif dan dinamis dalam rangka
menghadapi tuntutan globalisasi dan kebutuhan ruang masyarakat serta sesuai
dengan kondisi, karakteristik dan daya dukung daerah.
2.
Melibatkan
masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang demi tercapainya penataan ruang
yang berbasis peran serta masyarakat.
3.
Menggunakan
rencana tata ruang yang ditetapkan sebagai pedoman penyusunan program-program
pembangunan dan penerbitan perijinan pemanfaatan ruang serta alat kendali dalam
pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang agar tujuan dari rencana tata ruang
tercapai.
4.
Melaksanakan
pembangunan daerah melalui pendekatan pengembangan wilayah bukan pendekatan
sektor dimana program/proyek dari sektor/bidang serta alokasi pendanaannya
diarahkan untuk pengembangan wilayah/kawasan prioritas yang telah ditetapkan
dalam rencana tata ruang.
5.
Meningkatkan
sosialisasi serta menyebarluaskan seluruh informasi rencana tata ruang dan
kebijaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang, agar masyarakat
(stakeholder) dapat mengetahuinya secara jelas dan pasti tentang kebijaksanaan
rencana tata ruang yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
6.
Menegakkan
peraturan dan penerapan sanksi bagi pelanggar tata ruang ditinjau dari jenis
pelanggarannya.
7.
Menciptakan
dan meningkatkan hubungan kerja sama antar daerah dalam pola pemanfaatan ruang,
agar tercipta keserasian, keseimbangan dan keselarasan tata ruang.
8.
Menyiapkan
kebijaksanaan tentang insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang, agar
fungsi/peruntukan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang dapat
terwujud.
Pembangunan dengan pendekatan kewilayahan yang
merupakan pembangunan terpadu menurut Budiharsono (2001) diharapkan dapat
mengurangi kesalahan-kesalahan pembangunan di masa lalu. Dengan pendekatan
wilayah, akan dapat tercipta suatu sistem pembangunan yang bersifat terpadu
dengan mendorong terciptanya berbagai bentuk spatial linkages, seperti jaringan
interaksi fisik, sosial, ekonomi, teknologi dan administrasi.
Penyusunan dan pengusulan program dan proyek yang
sesuai dengan rencana tata ruang bertujuan untuk mewujudkan keterpaduan antara program
pembangunan dengan rencana tata ruang yang ada sehingga rencana tata ruang
tidak hanya dilihat sebagai aspek prosedural dalam penyelenggaraan pembangunan
daerah tetapi juga sebagai kegiatan yang dapat menunjang tercapainya
sasaran-sasaran pembangunan. Oleh karena itu, rencana tata ruang merupakan
salah satu kebijaksanaan yang strategis di daerah.
Rencana tata ruang wilayah kota menjadi dasar
untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi
pertanahan.Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kota adalah
20 (dua puluh) tahun. Rencana tata ruang wilayah
kota sebagaimana dimaksud ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima)
tahun. kota Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang
berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah
provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang-Undang,
rencana tata ruang wilayah kota ditinjau kembali lebih dari 1 (satu)
kali dalam 5 (lima) tahun.
Rencana tata ruang wilayah
kota ditetapkan dengan peraturan daerah kota.
1.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah kota mengacu
pada:
·
Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi;
·
Pedoman
dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan
·
Rencana
pembangunan jangka panjang daerah.
2.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah kota harus
memperhatikan:
·
Perkembangan
permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kota;
·
Upaya
pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kota ;
·
Keselarasan
aspirasi pembangunan kota ;
·
Daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
·
Rencana
pembangunan jangka panjang daerah;
·
Rencana
tata ruang wilayah kota yang berbatasan; dan
·
Rencana
tata ruang kawasan strategis kota.
3.
Rencana tata ruang wilayah kota memuat:
·
Tujuan,
kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kota ;
·
Rencana
struktur ruang wilayah kota yang meliputi sistem perkotaan di
wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana
wilayah kota ;
·
Rencana
pola ruang wilayah kota yang meliputi kawasan lindung
kota dan kawasan budi daya kota;
·
Penetapan
kawasan strategis kota;
·
Arahan
pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi indikasi program utama
jangka menengah lima tahunan; dan
·
Ketentuan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi ketentuan
umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif,
serta arahan sanksi.
4.
Rencana tata ruang wilayah kota menjadi pedoman
untuk:
·
Penyusunan
rencana pembangunan jangka panjang daerah;
·
Penyusunan
rencana pembangunan jangka menengah daerah;
·
Pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kota;
·
Mewujudkan
keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor;
·
Penetapan
lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
·
Penataan
ruang kawasan strategis kota.
Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud terdiri dari ruang
terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi ruang
terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas
wilayah kota. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling
sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Distribusi ruang
terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud di atas disesuaikan dengan sebaran
penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola
ruang.
1.
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten
sebagaimana dimaksud berlaku mutatis
mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ditambahkan:
·
Rencana
penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
·
Rencana
penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
·
Rencana
penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan
umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan
untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi
dan pusat pertumbuhan wilayah.
Selain tata ruang perkotaan yang diperhatikan
ada beberapa aspek tata ruang yang harus diperhatikan juga yaitu tata ruang
untuk wilayah nasional Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
adalah 20 (dua puluh) tahun. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5
(lima) tahun. Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan
dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan
dengan Undang-Undang, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali
lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional diatur dengan peraturan pemerintah.
1.
Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus memperhatikan:
· Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
· Perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil
pengkajian implikasi penataan ruang nasional;
· Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas
ekonomi.
2.
Aspek
lain yang harus menjadi perhatian dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Nasional
adalah:
·
Keselarasan aspirasi
pembangunan nasional dan pembangunan daerah;
·
Daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup;
·
Rencana pembangunan
jangka panjang nasional;
·
Rencana tata ruang
kawasan strategis nasional; dan
·
Rencana tata ruang
wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
3.
Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional memuat:
·
Tujuan, kebijakan, dan
strategi penataan ruang wilayah nasional;
·
Rencana struktur ruang
wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan
kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana
utama;
·
Rencana pola ruang
wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya
yang memiliki nilai strategis nasional;
·
Renetapan kawasan
strategis nasional;
·
Arahan pemanfaatan ruang
yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
·
Arahan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi
sistem nasional, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta
arahan sanksi.
4.
Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk:
·
Penyusunan rencana
pembangunan jangka panjang nasional;
·
Penyusunan rencana
pembangunan jangka menengah nasional;
·
Pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
·
Mewujudkan keterpaduan,
keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta
keserasian antarsektor;
·
Penetapan lokasi dan
fungsi ruang untuk investasi;
·
Penataan ruang kawasan
strategis nasional; dan
·
Penataan ruang wilayah provinsi
dan kabupaten/kota.
PERIJINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN
Dalam rangkaian proses
pembangunan gedung bertingkat tinggi di Indonesia memerlukan beberapa izin
kepada pemerintah serta pihak-pihak terkait. Proses pengurusan izin tersebut bisa
jadi memakan banyak waktu dan biaya namun tentunya hal tersebut untuk kebaikan
semua pihak, misalnya ketika kontraktor menggunakan alat berat tower crane
sebagai alat angkat selama proses pembangunan berlangsung. Kontraktor
diharuskan mengurus izin TC ke departemen tenaga kerja dengan begitu maka
denpanker bisa memastikan apakah alat tersebut aman serta layak digunakan.
Macam-macam perizinan pada proyek pembangunan gedung yang harus diurus dengan
beres adalah sebagai berikut:
1.
Pengukuran dari
pemerintah daerah.
2.
Block Plan.
3.
Izin Pelaksanaan (IP)
Pondasi.
4.
Izin Pelaksanaan (IP)
Struktur.
5.
Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL).
6.
Surat izin bekerja
perencanaan konsultan perencana arsitektur, MEP, struktur.
7.
Izin mendirikan bangunan
untuk prngurusannya diperlukan data izin peil banjir dan AMDAL
8.
Izin departemen tenaga
kerja meliputi izin lift, tower crane, gondola, genset, penangkal petir dsb.
9.
Izin ke dinas pemadam
kebakaran.
10. Izin kebandan pengelola lingkungan hidup daerah untuk izin limbah.
11. Izin deep well ini pada saat pekerjaan dewatering untuk menurunkan
muka air tanah agar pekerjaan pondasi dapat berjalan dengan lancer.
12. Surat izin bekerja perencana manajemen konstruksi atau konsultan
pengawas.
13. Sertifikat layak fungsi ini dapat jika telah selesai izin
denpaker, pemadam kebakaran dan BPLHD.
14. Izin penyembungan instalasi gedung (Telkom untuk sarana informasi,
PLN untuk listrik, dan PDAM untuk air).
15. Izin pemindahan atau penghilangan benda yang menghalangi
pembangunan contohnya pohon, tiang telpon, tiang listrik, gardu PLN, panel dll.
Beberapa jenis peizinan lain bisa jadi
diperlukan saat pelaksanaan misalnya izin ke satpol PP menggunakan fasilitas
umum untuk kegiatan proyek, izin ke kelurahan dimana proyek berlangsung, izin
ke kepolisan untuk pengamanan dan kelancaran proses pelaksanaan pembangunan.
Semua dokumen perizinan tersebut harus lengkap saat serah terima gedung dari
kontraktor kepada owner sebagai pemilik gedung, pegurusannya bisa melalui biro
konsultan perizinan atau diurus sendiri.
ARBRITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI
Cara-Cara
Penyelesaian Sengketa Dalam Penyelenggaraan Konstruksi
Konstruksi adalah salah satu industri yang
sangat kompleks, hal ini karena dalam proyek konstruksi terdapat multi disiplin
ilmu dan berurusan dengan orang banyak yang memiliki kepentingan masing-masing.
Kondisi ini pula yang membuka peluang sengketa menjadi lebih besar. Apabila
merujuk kepada data statistik yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI), dimana sengketa kontruksi mendominasi kasus yang ditangani
oleh BANI. Mulai periode tahun 1999 hingga 2016, tercatat terdapat 470 kasus,
dimana kasus konstruksi mendominasi sebesar 30, 8 % dari total kasus yang
ditangani oleh BANI. Pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi, penyelesaian sengketa konstruksi yang semula
ditempuh melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur pengadilan dan di luar pengadilan
mengalami perubahan.
Setelah terbitnya UU No. 2/2017 tentang Jasa
Konstruksi, sengketa konstruksi terlebih dahulu diselesaikan melalui musyawarah
untuk mufakat. Apabila para pihak yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan,
maka penyelesaian ditempuh melalui tahapan penyelesaian sengketa yang diatur
dalam kontrak kerja konstruksi. Kemudian apabila penyelesaian sengketa tidak
tercantum dalam kontrak kerja konstruksi, maka para pihak dengan persetujuan
tertulis mengatur mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang dipilih. Adapun
tahapan-tahapan penyelesaian sengketa sesuai UU No. 2/2017 adalah:
1.
Para
pihak yang bersengketa terlebih dahulu melakukan musyawarah untuk mufakat;
2.
Apabila
musyawarah tersebut tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa disesuaikan
berdasarkan kontrak kerja konstruksi;
3.
Apabila
penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak, maka penyelesaian sengketa
ditempuh melalui tahapan sebagai berikut:
4.
Mediasi;
5.
Konsiliasi,
dan;
6.
Arbitrase
7.
Jika
penyelesain sengketa tidak tercantum dalam kontrak kerja konstruksi, maka para
pihak yang bersengketa membuat tata cara penyelesaian yang dipilih.
Jasa
konstruksi merupakan salah satu sektor yang cukup rawan dengan sengketa. Sebab,
bisnis ini melibatkan banyak pihak dan memiliki layanan yang kompleks. Layanan
tersebut mulai dari jasa konsultansi perencanaan, pelaksanaan hingga
pengawasan. Tak heran, klaim di antara para pihak dapat melahirkan sengketa.
Misalnya, ketika terjadi kegagalan bangunan atau pengusaha jasa konstruksi
tidak berhasil merampungkan pembangunan gedung sesuai terminasi dan
syarat-syarat yang disepakati. Pemesan gedung tentu saja
bisa jalur yang lazim dipakai untuk menyelesaikannya, yaitu melalui pengadilan
umum secara perdata atau di luar pengadilan. Namun, pengusaha jasa konstruksi
lebih memilih penyelesaian sengketa di luar mempersoalkan kegagalan tersebut
lewat jalur hukum. penyelesaian dengan cara arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa terbukti efektif dalam penyelesaian sengketa, terutama
yang terkait konstruksi. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa hal tersebut juga
menjadi salah satu latar belakang berdirinya BADAPSKI. Institusinya itu hadir
untuk menjawab kebutuhan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan
beberapa kelebihan. Pertama, punya kekhususan di bidang konstruksi dan kedua
cara pembiayaannya. Bagi institusi pemerintah yang tergantung pada dana APBN
diberi kelonggaran dengan menyampaikan surat jaminan sebagai pengganti biaya
administrasi yang nantinya dibayarkan setelah tersedianya anggaran atau pada
saat putusan majelis arbitrase diterbitkan. Dibandingkan dengan proses beracara
di pengadilan, alternatif penyelesaian sengketa bisa dikatakan lebih efisien.
Terlebih lagi, dalam bisnis yang cukup kompleks seperti konstruksi. Hal ini
lantaran melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan langsung dari kedua
belah pihak dalam usaha penyelesaian sengketa. sengketa di meja arbitrase
maupun alternatif lain di luar pengadilan didukung oleh ahli yang memahami
persoalan. BADAPSKI bisa menyediakan seperangkat pengalaman dan teknik hukum
yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan untuk
keuntungan para pihak yang bersengketa. Organisasi ini bisa mengembangkan
secara positif pembangunan infrastruktur tanpa adanya sengketa antara para
pihak yang dapat menimbulkan terjadinya hambatan fisik dan finansial pada
proyek-proyek infrastruktur. Hal ini juga bisa mengurangi biaya litigasi
konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi. Serta mencegah
terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan. Mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi
diantara para pihak lebih menekankan penyelesaian di luar jalur pengadilan. Hal
ini tidak terlepas dari keunggulan arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa, dimana setidaknya terdapat beberapa keunggulan, yaitu:
1.
Kerahasian
sengketa terjaga. Kerahasian merupakan suatu keunggulan yang dapat diperoleh
ketika menggunakan jalur di luar pengadilan. Hal ini disebabkan oleh karena
proses hingga putusan penyelesaian sengketa tidak dipublikasikan kepada
publik. Keunggulan ini tentu akan berimplikasi kepada hubungan antara
para pihak yang bersengketa tetap baik, sehingga kelangsungan pekerjaan tetap
dapat dilanjutkan.
2.
Sengketa
diputus oleh pihak penengah (mediator, konsiliator, arbiter) yang mengerti
bidang konstruksi. Hal ini dikarenakan para pihak yang bersengketa dapat bebas
memilih pihak penengah yang akan memutus atau memberi anjuran terkait sengketa
yang sedang terjadi. Artinya para pihak dapat memilih pihak penengah yang
memiliki pengetahuan konstruksi. Hal ini tidak terlepas dari sifat sengketa
konstruksi bersifat teknis, sehingga pihak yang menjadi penengah dapat memutus
atau memberi anjuran secara tepat.
3.
Jangka
waktu relatif singkat. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki
keunggulan secara waktu dalam penyelesaian sengketa. Artinya, penyelesaian
sengketa dapat diselesaikan secara cepat daripada penyelesaian melalui jalur
pengadilan. Hal ini tentu akan berimplikasi terhadap kepastian yang akan
diterima para pihak yang bersengketa, seperti: kepastian atas kelangsungan
pekerjaan, pembayaran pekerjaan. Kondisi sesuai dengan kebutuhan dari para
pihak dimana sengketa dapat terselesaikan dengan tidak mengancam
keberlangsungan pekerjaan dan hubungan baik diantara para pihak.
DAFTAR PUSTAKA